Hidayatullah Sleman

 

Senin, 15 Februari 2016

Jurnalisme Takwa

0 komentar

PADA awal 1978, Koran Kompas pernah dibredel oleh pemerintah Soeharto selama 3 pekan. Setelah itu, harian yang dikomandoi oleh Jakob Oetama ini tampil lebih lembut. Mereka melunak. Padahal, ketika itu, kebanyakan surat kabar menganut jurnalisme keras dan sarat dengan kritik terhadap pemerintah.
Perubahan sikap ini kemudian diistilahkan oleh Rosihan Anwar sebagai jurnalisme kepiting. Artinya, mereka bersikap tak ubahnya seperti kepiting. Ketika ada hambatan di depan, mereka mundur, atau berjalan menyamping, lalu mencari jalan lain yang lebih aman. Ya, jalan aman.
Jika dulu ada istilah jurnalisme kepiting, rasanya cocok bila kita menyebut sikap yang bertolak belakang dengan itu sebagai jurnalisme banteng. Kita tahu, banteng selalu menyeruduk setiap hambatan yang ada di depannya. Tak peduli seberat apa pun halangan itu, ia hantam.
Harus kita akui, saat ini media dengan gaya banteng seperti itu ada, bahkan jumlahnya tak sedikit. Mereka mengkritik dengan sangat kasar, mencampur adukkan fakta dan opini untuk “menghantam” apa yang mereka tak suka, bahkan tak peduli apakah informasi yang mereka sampaikan bohong atau bukan.
Media Islam seharusnya tak melakukan kedua “budaya” itu. Media Islam tak akan bersikap seperti kepiting: berhenti atau berbelok mencari jalan lain manakala menemukan hambatan, atau bersikap seperti banteng: menyeruduk tampa etika.
Media Islam akan terus berjalan penuh kehati-hatian manakala ada hambatan yang menghadang di hadapannya. Media Islam harus terus melangkah sebagaimana nasehat Ubay bin Ka’ab kepada sahabatnya Umar bin Khaththab.
Diceritakan bahwa Umar suatu hari bertanya kepada Ubay tentang takwa. Lalu Ubay balik bertanya pada Umar, “Bukankah Anda pernah melewati jalan penuh duri? Apa yang Anda lakukan saat itu?”
Umat tidak menjawabnya dengan berhenti. Umar justru menjawabnya, “Saya (terus) berjalan (namun) berhati-hati.”
Begitulah seharusnya media Islam: tetap melangkah dengan penuh kehati-hatian. Media Islam  tak boleh berhenti mewarta sebagaimana para dai tak boleh berhenti berdakwah. Media Islam tak boleh berhenti mengkhabarkan konsep jihad dan khilafah secara benar kepada masyarakat meski saat ini kedua istilah itu tengah dihujam fitnah luar biasa akibat ulah sekelompok ekstrim.
Media Islam harus terus menceritakan kondisi para pengungsi Suriah yang begitu memprihatinkan agar kaum Muslim di seluruh dunia mau menyisihkan hartanya untuk membantu mereka meski aliran dana ke negeri konflik saat ini tengah mendapat sorotan tajam.
Hanya saja, sekali lagi, media Islam harus berhati-hati melangkah. Pastikan bahwa para jurnalis Muslim yang bekerja di media-media Islam telah bekerja sesuai kode etik jurnalis Muslim, sebagaimana banyak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.
Misalnya, para jurnalis Muslim harus bekerja secara profesional sebagaimana kaidah profesi dalam kejurnalistikan selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalam kaidah fiqih disebutkan, al-muslimuna ‘ala syuruthihim (kaum muslimin itu wajib memenuhi syarat-syarat yang ada di antara mereka).
Itu berarti, jurnalistik sebagai cabang ilmu yang memiliki aturan (syarat-syarat) yang telah disepakati bersama harus dipatuhi oleh para jurnalis Muslim sepanjang hal tersebut tidak menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah.
Selain itu, para jurnalis Muslim pantang mempublikasikan berita-berita bohong sebagai mana Islam juga mencela perbuatan tersebut. Para jurnalis Muslim harus mematuhi kaidahtabayyun (klarifikasi) dalam menyusun berita. Para jurnalis Muslim pantang menerima sogokan dan pantang pula menyajikan berita yang mengandung unsur fakhisya(menggambarkan kekerasan dan seksual secara fulgar).
Media Islam harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat, disertai pemberitahuan atau permintaan maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut. Dan, jurnalis Muslim harus mencantumkan sumber data/informasi yang dikutip olehnya dari media publikasi yang lain.
Semua etika tersebut ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Jika etika-etika tersebut telah dipatuhi oleh para pewarta Muslim namun tetap saja makar itu tak bisa dibendung, maka yakinlah bahwa makar Allah Subhanahu Wata’ala jauh lebih hebat dari makar siapa pun di bumi ini.
Selamat bekerja, jurnalis Muslim. Jangan pernah berhenti berdakwah![]

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Tiga Solusi Tegakkan Kembali Peradaban Umat Islam

0 komentar

KRISIS terbesar yang dialami umat Islam saat ini adalah hilangnya kepercayaan diri terhadap keunggulan syariat Islam. Peradaban yang pernah dipuncaki oleh generasi orang-orang shaleh terdahulu dianggap oleh sebagian manusia sebagai sejarah masa lalu. Sedang sejarah bagi mereka hanyalah sebagai sepenggal kehidupan masa silam yang pernah terjadi.
Kejayaan peradaban Islam itu tak lebih sebagai nostalgia indah yang menjadi dongeng turun temurun. Seolah ia tak punya hubungan dengan kehidupan sekarang. Orang itu mengaku beriman dan berqur’an tapi sekaligus masih ragu dengan al-Kitab yang menjadi panduan hidupnya tersebut. Apalagi jika syariat Islam dikaitkan dengan zaman yang disebut canggih dan modern ini.
Tak heran akibatnya mudah ditebak, syariat Islam menjadi asing di tengah masyarakat Muslim. Sebagian mereka menjadi silau dengan segala budaya dan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat dan di luar Islam. Parahnya lagi ada yang sampai membenci agama hanya untuk mempertahankan apa yang menjadi kebanggaan dirinya. Menganggap Islam sebagai ajaran kolot dan selanjutnya Barat menjadi kiblat utama mereka sekarang.
Bagi seorang Muslim keadaan tersebut tak boleh dibiarkan bersemayam dalam pikiran apalagi hatinya. Untuk itu ia harus move on dan beranjak dari krisis tersebut setidaknya dengan tiga solusi berikut ini:
Pertama: Membangun ilmu yang mapan
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) :
اقرأ باسم ربك الذي خلق ، خلق الإنسان من علق ، اقرأ وربك الأكرم ، الذي علم بالقلم ، علم الإنسان ما لم يعلم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq [96]: 1).
Ayat yang turun pertama kali ini menjadi pondasi dasar bagi orang beriman. Membaca merupakan syarat utama memperoleh ilmu. Untuk memahami dan melaksanakan syariat Islam dibutuhkan ilmu yang benar dan memadai. Sebab tak sedikit manusia yang niatnya berbuat baik tapi terjerumus ke dalam kesalahan bahkan kesesatan.
Dengan ilmu, adab seorang Muslim juga bisa terjaga. Ia makin mengenal siapa dirinya dan mengetahui hak dan kewajibannya. Mulai dari peran sebagai seorang hamba di hadapan Tuhan Pencipta dan menjadi khalifah yang bertugas mengurus kemasalahatan di muka bumi. Disebutkan, fungsi ilmu selain membenarkan amalan dan menguatkan keimanan, ilmu juga bisa menaikkan derajat orang tersebut di hadapan Allah.
Senada, Majid Irsan al-Kilani dalam Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, menjelaskan kedudukan manusia yang berilmu dalam kehidupannya. Menurut al-Kilani setidaknya orang berilmu memandang dengan lima pola interaksi. Hubungan manusia dengan al-Khaliq adalah ikatan penghambaan, hubungan dengan alam sekitar sebagai ikatan pemberdayaan (at-taskhir), dengan manusia lainnya adalah hubungan berbuat baik (adil dan ihsan), dengan kehidupan adalah ikatan ujian, dan dengan kehidupan akhirat adalah ikatan tanggung jawab (al-mas`uliyah) dan balasan (al-jaza`).
Kedua: Membangun iman yang mendalam
Bagi orang beriman, apapun itu pastinya tak cukup jika tak dibarengi dengan keimanan kepada Allah. Mengilmui syariat Islam secara rinci bahkan menghafal dalil-dalil yang ada hanya menjadi sia-sia jika tak didasari dengan pondasi iman atau hidayah.
Godaan syahwat dan kepuasaan sesaat di dunia hanya bisa terlewati dengan bekal iman di dada. Sebagaimana jalan terjal menuju surga juga hanya bisa didaki dengan stok iman yang cukup. Memahami syariat Islam dengan baik dan rinci menjadi tidak bermakna tanpa adanya iman. Iman adalah bekal untuk menggapai keridhaan dan pengakuan Allah serta jaminan keselamatan. Dengan iman, kehadiran manusia di dunia menjadi sesuatu yang bermakna. Yaitu menyembah kepada Allah dan menjadi wakil-Nya dalam mengurus kehidupan dunia.
Tanpa iman, kebahagiaan yang diakui manusia berubah menjadi semu dan palsu. Materi yang dipunyai dan seluruh kenikmatan dunia nyaris menjadi hampa sekiranya orang tersebut abai mengurus imannya. Sebab memburu kesenangan dunia tanpa berbekal keimanan hanya mengantar seseorang kepada frustasi dan kecewa berkepanjangan. Lihatlah, orang-orang kaya yang miskin iman. Meski hidup glamour, namun mereka adalah kumpulan orang gelisah yang tak mampu menikmati harta kekayaannya sedikitpun.
Ketiga: Membangun ukhuwah yang kokoh
Longgarnya ukhuwah (persaudaraan) di tengah umat Islam menyuburkan krisis yang menimpa saat ini. Hal ini menjadi peluang besar bagi musuh-musuh Islam untuk memberaikan rajutan ukhuwah yang terjalin, mendinginkan dekapan ukhuwah, dan menjadikan cinta sesama saudara Muslim berubah tawar dan hampa. Inilah fenomena umat Islam saat ini. Sebagian mereka masih sibuk bertikai sesama Muslim sedang di luar sana musuh-musuh Islam bertepuk riuh dengan pemandangan tersebut.
Berjama’ah adalah pola hidup yang menjadi kebutuhan setiap makhluk hidup. Ia bersifat fitrah dan berjalan secara sunnatullah. Dengan pemahaman demikian maka tak pantas seorang manusia berlaku sombong kepada lainnya. Semuanya adalah lemah dan tak berdaya di hadapan Allah. Semuanya hanya bisa kuat ketika mengikatkan diri dalam satu simpul ukhwat berbalut keimanan kepada Allah.
Allah berfirman:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمت الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم آياته لعلكم تهتدون
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Ada banyak cara dalam menautkan hati sesama orang beriman. Salah satunya adalah dengan menjauhi buruk sangka, iri hati, dendam, dan benci kepada saudara Muslim. “Jangan kalian saling mendengki dan membelakangi karena permusuhan dalam hati. Tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Demikian pesan Nabi dalam riwayat Imam al-Bukhari.
Terakhir, apapun kondisi kaum muslimin belakangan ini, bukanlah alasan yang tepat untuk berpangku tangan apalagi sekedar mengeluh dan berputus asa. Setidaknya inilah tiga solusi mendasar yang bisa menjadi penawar daripada dahaga umat Islam menyongosng kebangkitan kembali peradaban Islam tersebut. Saatnya bekerja dan bermujahadah serta saling mengingatkan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.*/Mustabsyirah Syammarpegiat komunitas penulis Malika  

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Menjadi Wanita, Mudah atau Susah?

0 komentar

Oleh: Sabil

“JADI perempuan itu nggak gampang,” protes seorang wanita dalam sebuah iklan pembalut di televisi.
Dari iklan tersebut, wanita itu ingin menyampaikan pesan bahwa menjadi seorang wanita itu tidak mudah. Apalagi jika “datang bulan” lalu pembalutnya tembus. Pesan wanita itu ada betulnya, tapi tidak sepenuhnya benar.
Memang menjadi seorang wanita tidak mudah. Di samping ia adalah makluk yang lemah, juga mempunyai tugas yang berat dan tidak bisa dilakukan oleh kaum lelaki. Misalkan, mengandung anak selama sembilan bulan dan membawanya di dalam perut yang berat dalam waktu lama.
Kemudian ia juga melahirkan, merasakan sakit yang tiada tara, mempertaruhkan nyawanya. Lalu lahirlah bayi, kemudian ia menyusui dan menyapihnya. Tak sampai di situ, ia juga harus mendidik anak tersebut, sebab ini menjadi tugas utama ibu.
Begitu juga dengan ibadah. Dalam beberapa ibadah perempuan ‘tertinggal’ dari laki-laki. Jika “datang bulan” atau nifas maka ia tidak boleh shalat dan berpuasa. Ia juga dilarang memasuki masjid dan memegang al-Qur’an.
Dalam hal pembagian warisan pun perempuan mendapat setengah dari bagian laki-laki. Sementara aurat wanita lebih susah dijaga dibanding lelaki karena banyak yang harus ditutupi.
Ibu, Lalu Bapak
Sementara itu, muncul kelompok feminim yang ceritanya memperjuangkan nasib kaum wanita. Alih-alih mendapatkan hak yang diperjuangkan; kesetaraan dan kemerdekaan. Malahan mereka semakin jatuh ke dalam jurang kehancuran.
Bahkan dari perjuangan untuk menyetarakan gender ini bisa melahirkan bibit kerusakan moral maupun kelainan seksual. Misalkan, perempuan suka sama perempuan.
Dikutip dari hidayatullah.com (11/02/2016), menukil perkataan penulis novel Gola A Gong, bahwa meningkatnya kasus lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT) di antaranya akibat pemahaman kesetaraan gender yang salah.
Allah Subhanahu Ta’ala telah menciptakan makhluk-Nya dengan sangat detail dan sempurna.
Allah berfirman dalam surat At-Tin ayat 4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Pasti terkandung hikmah yang besar di balik penciptaan laki-laki dan wanita.
Islam sangat memuliakan wanita, posisinya sangat agung dalam agama ini. Wanita atau ibu didahulukan dan disebut sebanyak tiga kali, ketika seorang anak ingin berbuat baik kepada orang tuanya.
Diriwayatkan, Abu Hurairah Radiyallahu‘anhu berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya, ‘wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk saya berbuat baik padanya?’
Rasulullah menjawab: Ibumu,
Dia bertanya lagi: lalu siapa?
Rasulullah menjawab: Ibumu,
Dia bertanya lagi: lalu siapa?
Rasulullah kembali menjawab: Ibumu,
Lalu dia bertanya lagi: lalu siapa?
Rasulullah menjawab: Bapakmu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Mudah, Kok!
Syariat Islam memerintahkan para suami untuk berbuat baik kepada istrinya. Menghargainya, menghormatinya, tidak menyakitinya, bersabar atas segala kekurangannya, memberikan nafkah, dan lain sebagainya.
Semua itu merupakan bagian dari perintah Allah, “Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisaa: 19)
Dari Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah bersabda: ‘orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, sebaik-baik kalian yang paling baik terhadap istrinya’.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang berusaha membantu para janda dan orang miskin maka dia berada di jalan Allah atau seperti orang yang shalat malam dan puasa sepanjang hari.” (HR Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya, berdasarkan pengalaman yang dirasakan istri penulis, menjadi wanita itu gampang dan tidak susah. Tidak sesulit dan seberat yang dipikirkan kaum feminis, kapitalis, dan liberalis.
Sebab, cukup dengan mematuhi garis yang dibuat oleh Sang Pencipta wanita, yaitu AllahSubhanahu Wata’ala, maka semua akan menjadi mudah dan berakhir bahagia. Dunia dan akhirat. Insya Allah! Wallahu a’lam.*
Penulis adalah kepala rumah tangga, tinggal di Makassar
Rep: Admin Hidcom
Editor: Muh. Abdus Syakur

Berbuat Baik pada Tetangga

0 komentar

Dari Abu Syuraih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
تَابَعَهُ شَبَابَةُ وَأَسَدُ بْنُ مُوسَى وَقَالَ حُمَيْدُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَعُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ وَشُعَيْبُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
“Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau; Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah? beliau bersabda: Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dengan gangguannya. {Shahih Bukhari No: 5557, Kitab: Adab, Bab: Dosa seseorang yang tetangganya tak merasa aman dari gangguannya}.